Tidak harmonisnya hubungan antara kepala daerah dan wakilnya di Indonesia, sebenarnya bukan merupakan hal baru. Berdasarkan data statistik yang dihimpun Kementerian Dalam Negeri, dari 244 pasang kepala daerah dan wakilnya yang dipilih melalui pemilihan langsung, sebanyak 93,85 persen pecah kongsi. (Kompas, Kamis 29/12). Dari persentase ini terlihat pasangan yang memang benar-benar harmonis hanya sekitar 6 persen saja.
Banyak kalangan yang terkejut melihat data ini. Tapi sebenarnya apabila kita melihat proses pencalonan khususnya dalam mencari pasangan, kita tidak perlu terkejut lagi. Banyak pasangan yang ‘dipasangkan’ menjelang detik-detik deadline pendaftaran. Salah satu contoh yang bisa kita lihat saat Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2008 lalu. Figur yang sebelumnya dikabarkan akan berpasangan, ternyata tidak jadi. Sebaliknya dua orang yang dinggap tidak mungkin menjadi pasangan, malah maju dalam pencalonan.
Banyak faktor yang menyebabkan dua orang bisa tampil menjadi pasangan. Faktor tersebut antara lain, popularitas, dukungan partai politik dan finansial. Ada figur yang memang sangat populer. Tapi ia tidak memiliki dukungan finansial dan parpol yang memadai. Sebaliknya ada yang memiliki sumber daya finansial yang melimpah, tapi tidak populer atau tidak memiliki dukungan parpol. Kekurangan antara satu figur dengan figur lainnya inilah yang kerap dijadikan cara untuk memasangkan dua figur menjadi satu pasangan untuk saling mengisi.
pecah kongsi sering menyebabkan inefektivitas dalam pemerintah daerah. Hal itu biasa terjadi pada dua tahun jelang pilkada berikutnya. "Di sanalah sering kali terjadi politisasi birokrasi yang berakibat layanan publik terhambat.
Usulan RUU
Agar hal serupa tidak kembali terjadi, Kemendagri menyiapkan RUU (Rancangan Undang-Undang) Pilkada, yang merupakan pecahan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang salah satu poinnya untuk mengantisipasi hal tersebut. Ke depan pilkada tidak memilih lagi secara langsung satu paket calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pilkada direncanakan hanya memilih kepala daerah.
Setelah enam bulan terpilih, kepala daerah lalu mengajukan tiga calon untuk menjabat sebagai wakil kepala daerah. Calon itu berasal dari pegawai negeri sipil (PNS) yang jenjang birokrasinya tertinggi di daerah tersebut. Cara pengangkatan wakil kepala daerah rencananya melalui penunjukan atau penetapan untuk provinsi, sedangkan untuk kabupaten/kota melalui penunjukkan melalui DPRD setempat. Hal ini salah satu cara untuk menghindari pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi sebelum masa jabatan berakhir.
Hal tersebut dilakukan, semata-mata untuk memberikan jaminan kepastian efektivitas dan stabilitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. PNS atau pejabat eselon di daerah dianggap sudah berpengalaman, sehingga yang diajukan harus 3 calon yang berpengalaman untuk mendapat persetujuan DPRD.
Selain itu, alasan penentuan wakil kepala daerah berasal dari kalangan birokrat, karena mereka tidak terlalu berambisi secara politik dibanding wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik dan dipilih secara langsung. Disinyalir banyaknya kepala daerah yang berseberangan dan bahkan pecah kongsi menjelang pemilihan kepala daerah, salah satunya, karena keduanya merasa punya dukungan dari publik secara politik dan memiliki akses yang sama.
Tak sampai disitu, dalam RUU Pilkada, juga akan dilakukan penegasan pembagian tugas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Meski, wakil kepala daerah prinsipnya tetap membantu kepala daerah dalam menjalankan pemerintah daerah, tetapi harus tetap diberi tugas yang jelas.
Kemudian ada usulan agar tidak semua daerah memiliki wakil kepala daerah. Untuk kabupaten yang berpenduduk di bawah 200 ribu, pemerintahan hanya dijalankan oleh kepala daerah seorang. Sehingga jabatan wakil kepala daerah hanya untuk kabupaten yang berpenduduk di atas 200 jiwa. Saat ini memang ada beberapa kabupaten yang berpenduduk di bawah 200 ribu. Bahkan, terdapat satu kabupaten di Papua, hanya berpenduduk 12 ribu orang.
Kembali Dipilih oleh DPRD
Kembali Dipilih oleh DPRD
Wacana agar kepala daerah ini kembali dipilih oleh DPRD betul-betul untuk kepentingan rakyat di daerah. Demokrasi kita ini terlalu mahal. Belum pantaslah, pengeluaran terlalu besar misalnya untuk daerah yang PAD-nya tidak sebesar biaya pilkada. Biaya pilkada lebih besar dari PAD itu sangat tidak masuk akal, banyak daerah yang mengalami kebangkrutan gara-gara penyelenggaraan pilkada.
Tingginya angka perpecahan pasangan kepala daerah dan wakilnya di berbagai pemerintahan daerah di Indonesia menjadi bukti belum ada kematangan pemimpin-pemimpin politik yang ada di daerah. Uang rakyat sudah keluar puluhan bahkan ratusan miliar dalam membiayai pilkada. Tapi efektvitas pemerintahan hanya berjalan selama 3 tahun karena terjadinya perpecahan. Kita tidak bisa terus-menerus mempertahankan kondisi yang seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar